Selasa, 13 Desember 2011

Makna Hijrah

Tak terasa, saat ini kita telah berada di tahun 1433 H, dan hari ini kita sudah memasuki hari ke 18 Muharram. Kita tahu bahwa Bulan Muharram sebagai pembuka awal tahun baru  hijriah adalah merupakan satu momen terpenting bagi umat Islam di seluruh penjuru dunia. Hal ini karena banyak nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, termasuk di antaranya adalah ma’ani perjalanan hijrah Nabi SAW dan para Sahabat dari Mekah menuju Madinah demi menyelamatkan aqidah islamiyah yang murni. Semoga kita termasuk golongan orang yang mendapat petunjuk Allah SWT sehingga dapat menggambil hikmah dari peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW.
Sebelum lebih jauh, mugkin kebanyakan kita sudah tahu makna Hijrah  secara bahasa. secara etimologi atau bahasa kalimah al hijrah berasal dari kata “ hajara “. Di dalam kitab kamus Al-Mu’jam al Wasith di katakana bahwa kalimah “Hajara” artinya taraka min makan ila makan (yaitu berpindah dari satu tempat ke tempat lain) dengan bahasa lain digunakan arti i’tazala (yaitu memisahkan diri) atau tabaa’ada, (yaitu menjauhkan diri). Yang bisa di artikan juga :  taraka wathanahu (yaitu ia meninggalkan tanah airnya). Dalam hal ini, allah SWT berfirman: “Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (muhajirin) mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka”.(Q.S. Al-Hasyr : 9).
Di dalam kitab Mufradat Alfazh Al-Quran, ashfahani juga  menerangkan kalimah “hajara” dengan arti “mufaraqah al-Insan ghairahu imma bi al-badan aw bi al-lisan aw bi al-qalb (seseorang yang meninggalkan selainnya baik itu  secara jasmaniah, ataupun ucapan dan hati). Hal ini  mengandung makna bahwa hijrah mempunyai makna yang lebih luas dari hanya sekedar perpindahan tempat. Oleh karena itu dapat dimaknai juga di sini bahwa Hijrah juga memiliki  makna moralitas atau akhlak dan spiritual.
Secara moralitas, hijrah dapat dimaknai meninggalkan prilaku atau perbuatan yang tidak baik, dan berupaya mengarah kepada akhlak yang lebih baik dan mulia menuju kehidupan yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama yang murni dan luhur. Adapaun hijrah dalam arti spiritual, dapat diartikan seperti meninggalkan keingkaran terhadap Allah SWT menuju ketaatan kepadaNya. Dalam al-Qur’an dikatakan: “Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah setelah mereka dizhalimi, pasti Kami menyediakan untuk mereka tempat yang baik di dunia”.(Q.S. al Nahl,16: 41).
Untuk lebih jelasnya mengenai hikmah hijrah Rasul SAW dapat di baca kitab-kitab sirah nabawiyah, diantaranya fiqh sirah karangan Ramadhan Buthi, dan kitab lainya. Adapun secara garis besar beberapa hikmah yang dapat kita ambil dari peristiwa hijrah Rasulullah SAW adalah sbb:
Pertama: Kesetiaan seorang sahabat terhadap Rasul SAW dalam mengemban amanat. Dalam fiqh sirah Ramadhan Buthi, dikatakan bahwa  Rasul SAW berpesan kepada Abu Bakar supaya menunda keberangkatannya untuk menemaninya dalam perjalanan hijrah. Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa setelah Abu Bakar ra melihat kaum Muslim sudah banyak yang berangkat hijrah ke Madinah, ia datang kepada Rasulullah SAW meminta ijin untuk berhijrah. Tetapi dijawab oleh Rasulullah SAW ;“Jangan tergesa-gesa, aku ingin memperoleh ijin dulu dari Allah.“ Abu Bakar bertanya,“Apakah engkau juga menginginkannya?“ Jawab Nabi SAW ,“Ya.“ Kemudian Abu Bakar ra menangguhkan keberangkatannya untuk menemani Rasulullah SAW .
Kepribadian dan keistimewaan yang dikaruniakan Allah  SWT kepada Abu Bakar memang mulia .Dalam Fiqh Sirah Ramadhan Buthi dituliskan bahwa Abu Bakar adalah contoh seorang sahabat yang jujur dan setia, bahkan siap mengorbankan jiwa dan segala yng dimmilikinya demi membela Rasulullah SAW . Kita dapat melihat bagaimana Abu Bakar memasuki gua Tsur terlebih dahulu, demi menyelamatkan Rasulullah SAW dari kemungkinan gangguan binatang buas dan ular. Kita saksikan pula bagaimana Abu Bakar menggerahkan harta, kedua anak dan seorang penggembala kambingnya untuk membantu Rasulullah SAW dalam perjalanan panjang dan berat. Dan kepribadian seperti inilah yang harus dimiliki oleh setiap Muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kedua: Mungkin akan terlintas dalam benak seorang Mukmin untuk membandingkan antara hijrah Umar bin Khattab ra dan hijrah Nabi saw , lalu bertanya :“ Mengap Umar ra berhijrah secara terang-terangan seraya menantang kaum musyrik tanpa rasa takut sedikitpun, sementaraRasululalh SAW berhijrah secara sembunyi-sembunyi dan Apakah Umar ra lebih berani ketimbang Nabi SAW ?” Jawabanya adalah bahwa Umar ra ataupun orang Muslim lainnya tidaklah sama dengan Rasulullah SAW. Semua tindakan dianggap sebagai tindakan pribadi, tidak menjadi hujjah syariat . Ia boleh memilih salah satu dari beberapa cara, sarana, dan gaya sesuai dengan kapasitas keberanian dan keimanan kepada Allah. Akan halnya Rasulullah SAW , beliau adalah orang yagn bertugas menjelaskan syariat, yakni bahwa semua tindakannya berkaitan dengan agama adalah merupakan syariat bagi kita. Oleh karena Sunnah Nabi SAW yang berupa perkataan, perbuatan, sifat dan taqrir(penetapan)-nya , merupakan sumber syariat yang kedua. Seandainya Rasulullah SAW melakukan seperti yang dilakukan oleh Umar ra niscaya orang-orang akan mengira bahwa cara dan tindakkan seperti itu adalah wajib( yaitu tidak boleh mengambil sikap hati-hati dan bersembunyi ketika dalam keadaan bahaya). Padahal Allah SWT menegaskan syariatnya di dunia ini berdasarkan tuntutan sebab dan akibat. Bahkan segala sesuatu ini pada hakekatnya terjadi dengan sebab dan kehendak Allah. Sehingga Rasulullah saw menggunakan semua sebab dan sarana yang secara rasional tepat dan sesuai dengan pekerjaan tersebut, sampai tidak ada sarana yang bisa dimanfaatkan kecuali telah digunakan oleh Rasulullah SAW.
Beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib supaya tidur di tempat tidurnya dengan menggunakan selimutnya. Juga membayar seorang musyrik setelah dapat dipastikan kejujurannya , sebagai penunjuk jalan rahasia,bersembunyi di gua selama tiga hari, dan persiapan-persiapan lainnya yang terpikirkan oleh akal manusia. Kesemuanya ini untuk menjelaskan bahwa keimanan kepada Allah tidak melarang pemakaian dan pemanfaatan sebab-sebab yang memang dijadikan Allah sebagai sebab. Rasulullah SAW melakukan itu bukan karena takut akan tertangkap oleh kaum musyrik di tengah perjalanan. Buktinya, setelah Rasulullah SAW mengerahkan segala upaya, kemudian kaum musyrik mencarinya sampai ke tempat persembunyiannya di gua Tsur, hingga apabila melihat ke bawah pasti akan melihatnya, sehingga menimbulkan rasa takut di hati Abu Bakar ra. , tetapi dengan tenang Rasulullah SAW menjawab ,“ Wahai Abu Bakar, janganlah engkau kira bahwa kita hanya berdua saja. Sesungguhnya Allah bersama kita.“ Seandainya Rasulullah SAW hanya mengandalkan kehati-hatian (keamanan) saja pasti sudah timbul rasa takut di hati beliau pada saat itu. Tetapi karena kehati-hatian itu merupakan tugas pensyariatan yang harus dilaksanakan, maka setelah melaksanakan tugas tersebut hatinya kembali terikat kepada Allah dan bergantung kepada pelindung-Nya. Hal ini supaya kaum Muslim mengetahui bahwa dalam segala urusan mereka tidak boleh bergantung kecuali kepada Allah, kendatipun tetap diperintahkan untuk melakukan usaha dan mencari kausal (sebab) yang diciptakan Allah pada alam nyata ini.
Di antara dalil nyata dalam hal ini adalah sikap Nabi SAW ketika dikejar oleh Suraqah ynag ingin membunuhnya dan mulai mendekatinya. Seandainya Rasulullah SAW hanya mengandalkan usaha kehati-hatian yang telah dilakukannya, pasti beliau sudah merasa takut ketika melihat Suraqah. Tetapi Rasulullah saw tidak gentar sama sekali, bahkan dengan tenang melanjutkan bacaan al-Quran dan munajatnya kepada Allah. Karena beliau mengetahui bahwa Allah yang memerintahkannya berhijrah pasti akan melindunginya dari segala bentuk kejahatan manusia.
Ketiga: Tugas Ali ra menggantikan Rasulullah SAW dalam mengembalikan barang-barang titipan yang dititipkan oleh para pemiliknya kepada Nabi SAW merupakan bukti nyata bagi sikap yang kontradiktif yang diambil oleh kaum musyrik. Pada satu sisi mereka mendustakan dan menganggapnya sebagai tukang sihir atau penipu, tetapi pada sisi lain mereka tidak menemukan orang yang lebih amanah dan jujur dari Nabi SAW. Ini menunjukkan bahwa keingkaran dan penolakkan mereka bukan karena meragukan kejujuran Nabi SAW, tetapi karena kesombongan dan keangkuhan mereka terhadap kebenaran yang dibawa oleh Rasul SAW.
Keempat: Semangat berjuang menegakkan kebenaran. Kita dapat melihat bagaimana Abdullah bin Abu Bakar yang mondar-mandir antara gua Tsur dan Mekkah, ia mencari berita dan mengikuti perkembangan ,kemudian melaporkannya kepada Nabi SAW dan ayahnya Abu Bakar, juga tugas yang dilakukan saudara perempuannya , Asma’ binti Abu Bakar, dalam mempersiapkan bekal perjalanan dan mensuplai makanan, kita dapatkan suatu gambaran dan sosok kepribadian yang harus diwujudkan oleh para pemuda Islam yang berjuang di jalan Allah demi mewujudkan prinsip-prinsip Islam dan menegakkan masyarakat Islam.
Kelima: Peristiwa yang dialami oleh Suraqah dan kudanya ketika menghampiri Rasulullah SAW merupakan mu’jizat bagi beliau. Para imam hadits menyepakati kebenaran riwayat tersebut, terutama Imam Bukhari dan Muslim. Peristiwa ini dapat dimasukkan ke dalam datar deretan mu’jizat Nabi SAW.
Keenam: Begitupun di antara mu’jizat yang terbesar yang terjadi dalam kisah hijrah Nabi SAW yaitu ketika keluarnya Rasulullah SAW dari rumahnya yang sudah dikepung oleh kaum musyrik yang hendak membunuhnya. Dan saat Nabi SAW keluar mereka semua tertidur, sehingga tak seorangpun yang melihatnya. Bahkan sebagai penghinaan terhadap mereka, ketika keluar dan melewati mereka Rasulullah SAW menaburkan pasir ke atas kepala mereka seraya membaca firman Allah :”Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.“ QS Yasin : 9.
Ketujuh:Kita juga melihat bagaimana sambutan masyarakat Madinah kepada Rasulullah yang memberikan gambaran kepada kita betapa besar kecintaan kaum Anshar terhadap Rasulullah SAW. Setiap hari mereka keluar di bawah terik matahari ke pintu gerbang kota Madinah menantikan kedatangan Rasulullah SAW hingga apabila matahari telah terbenam, mereka kembali untuk menantikannya esok hari. Ketika Rasulullah SAW datang, maka  dengan riang gembira mereka menyambut Rasulullah SAW. Selain itu  betapa besarnya kecintaan para sahabat kepada Rasulullah SAW dapat kita lihat juga pada peristiwa persinggahan Rasulullah SAW di rumah Abu Ayyub al-Anshari.
Dan begitupun arti persaudaraan yang Rasul SAW ajarkan, hal ini dapat kita lihat bagaimana kaum Anshor menerima kaum Muhajirin. Dua golongan yang tadinya tidak saling mengenal ini mampu bersama-sama bergandengan. Bersatunya Muhajirin dan Anshor setelah hijrahnya merupakan sebuah kekuatan islam dan  menjadi teladan bagi kita  dalam mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Kebersamaan tsb adalah modal utama bagi kaum Muhajirin dan Anshor saat itu untuk mencapai kejayaan kaum muslimin. Saling bahu-membahu dalam menjalani kehidupan. Dan Semangat kebersamaan inilah yang tertuang dalam bingkai ukhuwah islamiyah dan menjadi modal kekuatan umat sepanjang masa.
            Terakhir, dengan mengambil hikmah dibalik hijrah Rasul SAW ini, semoga dapat menjadi sarana  memperteguh keyakinan kita akan dien islam yang mulia ini dan berupaya menerapkan syariatnya sesuai dengan tuntunan al-qur’an dan sunah rasulnya. Juga menjadi penyemangat bagi kita semua untuk senantiasa berkarya demi berkahnya kehidupan ini di dunia maupun di akherat nanti, amien, Wallahu’alam




Tidak ada komentar:

Posting Komentar